Wawancara Eksklusif: Mengupas Pengalaman 20 Tahun Dr. Ahmad Ikhwani di Mesir
Artikel ini diunggah pertama kali oleh Egypt Student Information dengan judul “Wawancara Eksklusif dengan Dr Ahmad Ikhwani, Mengupas Pengalaman Beliau 20 Tahun di Mesir“.
Masisir mana yang tidak kenal dengan Dr. Ahmad Ikhwani Syamsuddin? Sosok yang mendapatkan gelar doktoral dalam bidang hadits dengan nilai Summa Cum Laude alias sempurna.
Bukan hanya itu, salah satu penguji disertasinya yang juga merupakan seorang anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar dan Muhaddits (pakar hadits) zaman ini, yaitu Prof. Dr. Ahmad Ma’bad memuji habis-habisan Dr. Ahmad Ikhwani dengan mengatakan bahwa beliau telah mencapai derajat yang tinggi dalam pemahamannya yang sempurna terhadap hadits, baik sanad maupun matan.
Baca berita terkait: Raih Doktoral, Dr. Ahmad Ikhwani Tuai Pujian Prof. Ahmad Ma’bad
Pada hari Ahad, tanggal 14 Juli 2019 lalu, kami membuat janji dengan Dr. Ahmad Ikhwani untuk mewawancarai beliau secara eksklusif dan sharing mengenai pengalaman beliau yang sudah 20 tahun di Mesir sekaligus meminta nasehat mengenai kegiatan belajar, khususnya selaku mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir).
Berikut ini adalah wawancara yang kami lakukan selama kurang lebih satu jam di kediaman beliau. Selamat membaca!
Mengapa Memilih Mesir?
Kalau keinginan belajar ke Mesir sendiri, itu sudah ada sejak masih di Madrasah Aliyah (MA). Saya ketika di Aliyah menempuh program khusus (PK) yang memang lebih fokus ke materi-materi agama. Sedangkan bahasa yang sehari-hari digunakan di sana adalah bahasa Arab dan Inggris. Sejak itu, menurut saya, yang paling cocok untuk diri saya sendiri adalah melanjutkan belajar ke luar negeri. Tapi saat itu saya tidak berani bermimpi terlalu jauh untuk studi keluar negeri.
Salah satu faktor yang membuat saya ingin ke Mesir juga adalah ketika membaca iklan belajar ke Mesir. Namun, sayangnya, akses untuk mendapatkan kesempatan belajar ke Mesir di Lampung itu tidak sebagus di Jawa, apalagi dulu belum ada internet.
Setelah lulus MA, saya coba mendaftarkan beasiswa ke Mesir di Jakarta. Namun, masih belum diterima. Ketika itu, bagi saya, satu-satunya jalan ke Mesir adalah melalui beasiswa. Saya tidak berani mengambil risiko terjun bebas, di samping ada keterbatasan ekonomi juga.
Karena tidak lulus, maka memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta dan tidak terpikir untuk melanjutkan ke Mesir. Saya sempat kuliah di Yogyakarta selama dua tahun. Lalu ada pengumuman tes beasiswa ke Mesir. Saya pun iseng coba daftar beasiswa lagi, alhamdulillah ternyata diterima. Saya pun meninggalkan kuliah saya di Yogya dan mengambil beasiswa itu pada tahun 1998, bersama 73 penerima beasiswa lainnya, termasuk waktu itu ada Ustadz Abdul Shomad juga.
Bagaimana Kondisi Ketika Datang ke Mesir?
Mesir ketika itu sangat luar biasa, ya. Tentunya berbeda dengan sekarang. Terutama kondisi alam, masyarakat, dan ekonominya.
Kondisi ketika saya datang ke Mesir dulu juga masih belum banyak akses internet dan HP. Semakin pelik, karena di rumah saya belum ada telephon juga. Saya ketika itu hanya mengandalkan surat untuk memberi kabar ke keluarga.
Tapi, meskipun saya tiap 2-3 bulan kirim surat, namun surat saya nggak pernah sampai ke rumah. Dan ini baru saya ketahui 3 tahun setelahnya ketika berangkat haji dan ketemu saudara saya yang kuliah di Universitas Islam Madinah. Saya dimarahi karena dianggap nggak pernah kasih kabar ke keluarga selama 3 tahun lamanya. Intinya, ketika itu bisa dikatakan saya ya udah pasrah dengan berbagai hal yang ada di Indonesia.
Hingga kemudian akhirnya, saya coba kirim surat kepada saudara saya di Jawa, alhamdulillah sampai.
Suatu hari, ketika ingin ke Kedutaan Besar Republik Indonesia, karena terbatasnya bahasa dan ketika itu belum ada GPS dan sejenisnya, saya kesasar sampai ke daerah Giza. Daerah Pyramid sana.
Adapun kelebihan yang saya rasakan ketika itu adalah aktifnya forum-forum diskusi. ada juga grup-grup Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Saya dan beberapa teman membuat forum diskusi berbasa Arab untuk membahas diktat kuliah. Kami menyadari bahwa modal bahasa adalah modal yang sangat berharga untuk menuntut ilmu agama, apalagi di Mesir.
Kembali lagi, dengan kondisi yang terbatas itu, kami jadi lebih aktif dalam membuat forum diskusi, membahas kitab-kitab, menulis jurnal, buletin dan sebagainya. Karena ketika itu akses untuk mendapatkan buku tidak semudah mendapatkan pdf seperti sekarang ini, maka untuk mendapatkan referensi kami harus sering ke perpustakaan.
Bisa dibilang, ketika itu ya kondisinya cukup berat kalau dibanding sekarang.
Setelah 5 bulan di Mesir, saya pindah ke Bu’uts. Di sana saya banyak berinteraksi dengan kawan-kawan dari berbagai negara, seperti India, Asia Tengah dan Afrika. Selain aktif berbahasa Arab, sebagian mereka sangat mahir dalam bahasa Inggris, dan sebagian mahir berbahasa Perancis, karena memang bahasa resmi di negara mereka.
Karena persahabatan saya dengan mereka, alhamdulillah praktek bahasa Arab saya juga jalan. Selain itu, saya juga sempat belajar bahasa Inggris dan Perancis dengan mereka. Dulu, saya bisa 3 bahasa asing, Arab, Inggris, dan Perancis. Tapi sekarang tinggal Arab aja.
Nah, yang saya tahu, mahasiswa sekarang katanya banyak menghabiskan waktu di kamar aja, ya? Akhirnya bahasa Arabnya jadi kurang terpakai.
Secara ekonomi, di negeri kita tahun ’98 sedang krisis moneter. Kondisi ini menyebabkan sebagian pelajar terpaksa harus pulang ke Indonesia dengan memanfaatkan pesawat Garuda yang pulang dalam kondisi kosong setelah mengantar jamaah haji ke Tanah Suci. Pernah juga, sebagian teman pulang dengan menumpang kapal yang baru dibeli Indonesia dari salah satu negara Eropa dan lewat di terusan Suez.
Jadi, dari Saudi, pesawatnya mampir ke Mesir dulu untuk mengangkut para pelajar yang mengalami masalah ekonomi (karena para pelajar dapat kiriman dari Indonesia berupa dollar, sedangkan dollar anjlok ketika itu).
Mengetahui hal ini, banyak orang Mesir yang tidak terima. Mereka merasa zhalim kalau ada penuntut ilmu di negeri mereka yang kelaparan dan kesusahan, tapi mereka membiarkan begitu saja.
Bahkan, ada yang cerita, dulu ada orang kampung yang datang ke KBRI hanya membawa 75 Le, “Ini, saya ingin bantu para pelajar dengan apa yang saya punya.”
Dulu, kami para pelajar itu banyak dapat bantuan dari orang-orang Mesir, sekalipun bukan dari mereka-mereka yang kaya. Sebagian bahkan cuma pedagang makanan kecil-kecilan.
Itu ketika Mesir belum mengalami krisis seperti sekarang. Secara umum, sifat orang-orang Mesir itu dermawan. Sekarang pun, walau dalam kondisi krisi, sifat tersebut pun masih terasa.
Pesan
Teman-teman, kita, para pelajar di Mesir ini, kan paling sering dikritik dari segi kemampuan bahasa Arabnya, ya? Kita banyak kalah dari pelajar Indonesia lain yang belajar di Yaman, Saudi, Sudan, atau Libya, bahkan yang belajar di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, pandai-pandailah membuat sarana yang bisa meningkatkan kemampuan bahasa Arabnya.
Sekarang kan antum enak, ya. Kalau nggak tahu kosa kata dalam bahasa Arab bisa langsung lihat aplikasi yang macem-macem itu. Dulu, kami kalau ada kata yang tidak kami pahami, ya buka kamus satu per satu. Di satu sisi, kita juga nggak mungkin kalau kemana-mana bawa kamus. Jadi, kami mau nggak mau ya harus sering menghafal mufrodat di rumah.
Pesan Prof. Mushthafa Abu Imarah, “Kamu bertahan 2 tahun untuk belajar bahasa Arab tapi punya pondasi yang kuat, lebih baik daripada belajar bahasa Arab 1 tahun tapi lemah pondasinya. Karena bahasa Arab itu modal.”
Bagaimana Bisa Bertahan Ditengah Susahnya Kondisi Kala Itu?
Kalau Antum bilang kondisi ketika itu susah, karena Antum bandingkannya dengan sekarang. Kalau saya yang ngalami dulu, ya biasa saja, nggak terasa susah.
Kalau disebut apa yang bisa membuat saya bertahan, ada beberapa hal, diantaranya faktor ekonomi ketika itu.
Selesai S1, saya memberi kabar kepada keluarga, bahwa S1 saya sudah selesai. Kemudian memberikan opsi kepada mereka, mengenai kelanjutan kuliah saya, yang pertama adalah tetap di Mesir, tapi resikonya masa pendidikan yang lama. Atau, kalau mau cepat, bisa ke Sudan atau Malaysia, namun biayanya besar.
Keluarga saya pesan, “Udah, lanjut di situ (Mesir) aja, nggak usah pulang dulu. Takutnya, nanti kalau pulang malah nggak bisa balik lagi.”
Di satu sisi, ada prinsip di keluarga saya mengenai pendidikan ini. Prinsip itu adalah selesaikan tingkat tertinggi di mana kami belajar. Dan memang, orang tua nggak menyuruh untuk cepat-cepat pulang.
Untuk menambah pengalaman sekaligus penghasilan di Mesir, sejak tahun ketiga kuliah, saya mulai belajar menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Awalnya, saya dan tiga teman saya membuat semacam kelompok diskusi hadis. Dan banyak artikel tentang hadis jurnal berbahasa Arab Kami lantas kepikiran untuk mengirimkan terjemahnya ke penerbit di Indonesia melalui email, tapi ternyata ditolak.
Kami malah ditawari untuk menerjemah beberapa kitab, yang memang katanya sedang banyak diminati di Indonesia. Setelah diskusi dengan teman-teman, akhirnya kami terima tawaran itu.
Selain itu, kami juga aktif di jurnal OASE-ICMI dan bergabung di beberapa organisasi, seperti Senat Ushuluddin, ICMI, dan PCINU. Dulu saya dan teman-teman kadang disuruh menghadap ke bos-bos perusahaan, macam Singapore Airlines dan Coca-cola untuk menawarkan kerjasama iklan di jurnal kami. Hehe.
Dua tahun pertama menempuh Pendidikan S2, saya masih belum dapat beasiswa. Tapi, alhamdulillah masih ada tabungan dari hasil menerjemah kitab-kitab tadi. Setelah 2 tahun, alhamdulillah dapat beasiswa dari Baituz Zakat.
Selain itu, yang membuat bertahan juga adalah rasa penasaran terhadap ilmu-ilmu yang belum saya ketahui dan pelajari.
Mengapa Memilih Hadits?
Saya sudah sejak tahun pertama ingin memilih hadits. Ketika itu, saya bersepakat bersama 4 teman untuk sama-sama mengambil ilmu hadits. Sejak saat itu kami sering mendiskusikan masalah hadits serta tema-tema yang ada di dalamnya.
Adapun mengapa saya memilih hadits, saya dulu pernah masuk Syariah ketika di Yogyakarta. Saya lihat, (di Syariah) kok banyak khilaf atau perbedaan antar para ulama. Nah, terus saya berpikir, kayaknya yang jarang ada khilaf di hadits, nih. Selain itu, hadits juga merupakan salah satu dalil yang penting dalam fiqih, dan yang mendalami kajian hadits di Indonesia sepertinya masih jarang.
Sebagai informasi juga, dulu, di Fakultas Ushuluddin itu beda dengan sekarang yang bisa memilih jurusan sendiri. Dulu, setiap mahasiswa dipilihkan oleh pihak kuliyyah (ke dalam satu jurusan) berdasarkan nilai tertinggi yang antum miliki. Semisal antum waktu tingkat 2 ketika ujian nilai tertingginya di Dakwah, nanti antum akan dimasukkan ke Fakultas Dakwah. Begitu juga fakultas yang lainnya.
Waktu itu, saya dan teman-teman menemui bagian administrasi untuk menanyakan bisa/tidaknya memilih fakultas. Kata mereka, bisa, yang penting kami mengajukan permohonan sebelum muncul pengumuman fakultas yang akan dipilihkan. Kami pun buat permohonan, akhirnya kami masuk hadits semua.
Menulis Disertasi Sampai 5 Tahun, Mengapa?
Saya mulai menulis disertasi itu sejak tahun 2013. Begitu selesai akhir tahun lalu, saya baru bisa mengajukan ke munaqisy Februari 2019 lalu. Tapi munaqosyah baru bisa dilaksanakan bulan Juli 2019 ini.
Jadi, di Al-Azhar itu, proses menuju munaqosyahnya lumayan lama. Selesai kita mengajukan risalah, nanti ada yang Namanya ijtima’ qism (rapat pembentukan panitia munaqosyah tingkat jurusan). Semisal bulan ini selesai menulis, maka baru bisa minta agar dibentuk panitia itu sebulan setelahnya.
Setelah itu, ada lagi lagi ijtima’ kuliyyah (rapat pembentukan panitia munaqosyah tingkat fakultas). Setelah ini disetujui, baru menuju tingkat jami’ah (universitas). Kadang masing-masing antar ijtima’ ini memerlukan jarak yang tidak sebentar, bisa satu bulan lebih.
Ditambah lagi, sempat ada kesalahan teknis dari saya, karena hal ini, diundur sampai 3 bulan. Setelah semuanya terlalui, baru saya bisa menyerahkan risalah (disertasi) saya kepada para munaqisy (penguji) untuk dibaca.
Kalau cerita mengenai mengapa sampai bisa hampir 5 tahun penulisan itu, sebetulnya target awalnya hanya 3 tahun sudah selesai. Tapi terkadang kondisi dan kenyataan berkata lain. Jadi kita jalani saja.
Misalnya, karena saya sudah berkeluarga, jadi waktu juga pastinya terbagi untuk mencari ma’isyah. Nggak jarang juga ada tamu-tamu dari Indonesia, biasanya dosen-dosen universitas, yang juga harus ditemani saat pelatihan dan sebagainya. Sama beberapa kali saya juga safari Ramadan ke Italia dan pernah juga menjadi tenaga musiman (temus) haji. Di masa-masa itu, otomatis saya berhenti sementara dari menulis disertasi.
Oh iya, ketika S2 atau menyelesaikan thesis, juga dibarengi menerjemah sejumlah buku. Jadi cukup terbagi waktunya. Total yang saya terjemah baru 33 buku. Belum banyak. Tapi saya jarang mendokumentasikan buku terjemahan saya sendiri. Jadi hanya ada beberapa yang di Mesir.
Cerita Magister dan Kerja dengan Orang Mesir
Kalau S2 saya memang cukup lama. Kurang lebih 10 tahun. Ini karena banyak faktor juga.
Setelah tamhidi selama 2 tahun dan mencari judul tesis selama 1 tahun, nahketika menulis thesis, ternyata radio pemerintah Mesir membuka lowongan untuk penyiar. Saya kemudian ikutan tes, dan ternyata diterima. Padahal aslinya cuma mau menemani kawan tes di sana. Sedang kawan saya malah nggak diterima. Saya jadi penyiar di radio itu sampai kurang lebih 4 tahun.
Belum selesai masa jadi penyiar radio, ada seorang kawan di Darul Ifta’ yang meminta saya untuk menjadi editor terjemah untuk Darul Ifta’. Saya awalnya menolak karena masih ada kerjaan di radio. Tapi, sang kawan memaksa, katanya, “Artikel-artikelnya nggak akan bisa diterbitkan kalau nggak diedit.”
Akhirnya saya bertemu dengan Sekretaris Mufti dan berbincang masalah ini. Di ujung pembicaraan, Sekretaris memaksa, “Udah, pokoknya kamu harus mau, ya.” Setelah itu jadilah saya editor di Darul Ifta’ dari tahun 2007 sampai 2011. Berhenti saat ada revolusi Mesir yang pertama itu.
Di sana saya mengantor kayak orang Mesir. Di sana saya banyak menerjemah buku. Jadi, risalah thesis udah hampir nggak terpegang lagi. Sebetulnya, S2 itu kalau diseriuskan 4 tahun cukup. Tapi, terkadang kita terlena. Haha. Walau di satu sisi memang kebutuhan juga plus pengalaman bekerja dengan orang Mesir.
Menyenangkan bekerja dengan orang Mesir itu. Apalagi kalau dalam posisi yang bisa dibilang muhtarom. Ketika di penyiaran, saya dan teman-teman sering diutus untuk mewawancari para tokoh yang datang dari Indonesia ke Mesir. Sering juga diutus ke muktamar-muktamar yang diadakan di Mesir untuk meliput berita.
Baik di penyiaran maupun Darul Ifta’, saya dikategorikan sebagai tenaga ahli asing. Jadi legal, bukan ilegal, karena mereka sendiri yang meminta.
Kalau mau bekerja dengan orang Mesir, modal utamanya yang paling penting adalah bahasa.
Di radio itu, tesnya adalah tes tulis menerjemah teks bahasa Indonesia ke bahasa Arab, dan sebaliknya. Sedangkan tes lisannya adalah dengan wawancara dengan bahasa Arab, terjemah langsung, dan sebagainya. Ini semua, harus punya modal bahasa Arab yang cukup baik.
Kalau saya sendiri, sejak dulu memang suka baca koran dan sudah menerjemah buku. Jadi, walaupun waktu daftar nggak begitu niat, tapi ternyata keterima. Ini saya cerita biar antum semangat belajar bahasa Arab.
Suka-Duka Dibimbing Disertasi oleh Prof. Musthofa Abu Imaroh dan Prof. Shahata Abdul Aziz?
Sukanya, beliau-beliau baik, terutama Prof. Musthofa. Beliau orangnya perhatian dan ke-bapak-an. Bahkan ketika menjelang sidang pun beliau tanya “Butuh uang nggak?”. Butuh ya butuh, cuma malu (untuk minta) ‘kan.
Hanya saja, beliau sangat detail dan ketat dalam mengoreksi. Tapi, ya enak. Beliau juga banyak tahu referensi. Jadi kalau butuh rujukan tinggal tanya beliau.
Dukanya apa, ya? Saya sendiri lebih cenderung merasakan sukanya saja. Kalau dukanya, nggak terlalu saya pikirkan. Bukankah itu konsekuensi kita menuntut ilmu? Yang penting siap mental, apalagi karakter orang Mesir kebanyakan gampang marah, walau gampang (pula) memaafkan.
Kelebihan para masyayikh adalah ke-tawadhu‘-annya. Walaupun beliau mengajarnya sudah level internasional, sering keluar negeri untuk mengajar, tapi beliau tetap ramah dan mudah didekati oleh para pelajar ini.
Jadi, manfaatkan kesempatan ini dengan mendekat pada beliau-beliau ini, gali ilmunya, dan barokahnya.
Kalau punya senior yang dekat dengan beliau-beliau, temani mereka biar ikut dekat dengan masyayikh. Yang penting harus meningkatkan kemampuan bahasa Arab.
“Para Pelajar Semangatnya Tidak Menentu, Bagaimana Anda Menjaga Semangat?“
Saya sebenarnya juga merasakan naik-turunnya semangat. Hanya, biasanya nggak lama.
Salah satu yang buat saya tetap semangat itu, adalah saya senang membaca. Kalau sehari nggak membaca itu rasanya saya ketinggalan informasi.
Ini juga diimbangi dengan mengaji atau talaqqi di majelis-majelis. Karena yang didapat bisa lebih banyak. Di situ, akan terasa kalau masih banyak yang kita nggak tahu dan mereka sudah tahu. Jadinya, ingin terus mengaji begitu.
Kalau belajar atau baca sendiri, mudah terasa sombong karena merasa sudah tahu semua. Coba tetapkan baca satu halaman per hari.
“Apa Kendala yang Dirasakan ketika Berjuang Menulis Disertasi?”
Salah satu kendala yang saya alami itu kalau misalnya lagi nggak ada uang. Prinsip saya, kalau kerja itu untuk membiayai kuliah saja. Kadang ketika butuh uang, saya mengajar pelajar dari Malaysia atau Brunei. Ini semua ya dijalani saja.
Masalah rezeki itu kita kembalikan sama Allah. Ada saja rezekinya. Contohnya kemarin untuk membiayai disertasi yang biayanya nggak sedikit, ternyata ada saja rezeki yang datang. Yang penting ada usaha.
Memang belajar itu butuh uang. Jadi, menurut saya nggak apa-apa (bagi seorang pelajar itu) bekerja. Tapi, ya untuk sekedar membiayai kuliah atau memenuhi kebutuhan secukupnya selama belajar. Karena kalau keterusan kerja, akan merasa kurang terus.
“Bagaimana Mengatur Waktu Belajar dan Semangat saat Kuliah?“
Cara me-manage orang berbeda-beda, ya.
Ada kawan yang untuk disertasi dia bakalan fokus nggak kemana-mana. Saya sendiri nggak bisa kalau dipacu untuk fokus terus. Terkadang kalo sedang jenuh mengurus disertasi, saya cari kegiatan lain.
Saya kalo me-manage nggak terlalu kaku. Mengalir saja. Tidak bisa kalau (menjelaskan) pakai teori-teori begitu.
Karena, kadang masalahnya waktu kita banyak habis di jalanan. Seperti saya yang biasa ngaji di Darrasah, sedangkan saya tinggal di ‘Asyir, untuk perjalanan pulang-pergi saja bisa menghabiskan waktu 2 jam.
Belum waktu untuk mengantri setoran dan yang lainnya. Total bisa menghabiskan lima jam itu. Nah, ini bisa dimanfaatkan untuk ngaji atau misalnya dengerin video atau rekaman kajian.
Dulu, ada dosen hadits yang sekarang sudah meninggal dunia. Beliau bercerita, kalau membaca bisa sampai 8 jam per hari.
Ketika di kelas, beliau pernah bertanya ke seorang pelajar dari Afghanistan, “Kamu per hari biasa baca berapa halaman?”
Kita ‘kan biasanya nggak pernah menghitung berapa halaman yang dibaca per hari kan? Dia pun mengarang jawabannya, “50 halaman”.
Beliau langsung menegur, “Kamu itu jauh-jauh dari negerimu tapi bacamu sedikit sekali. Harusnya penuntut ilmu itu banyak baca. (Setidaknya) 500 halaman per hari.”
Makanya, membaca itu penting, terutama buku-buku muqarrar dan turats. Kunci menguasainya adalah dengan membaca bertahap, dari dasar.
Kuasai mufradat-mufradat yang ada. Karena nantinya (mufradat) itu akan muncul lagi di tulisan atau di buku-buku lainnya yang satu topik dengannya.
Intinya kembali ke diri sendiri. karena walau banyak motivasi, tapi masih malas ya sama saja.
Andaikan umat Islam ini waktu seriusnya sama dengan waktu mainnya, niscaya akan bangkit umat ini.
Barat saja bisa begitu, main-mainnya banyak, tapi helajarnya juga serius. Lha, kita? Banyak main-mainnya, seriusnya dikit.
Tips Memilih Kegiatan di Luar Kuliah
(Dalam memilih kegiatan,) kuncinya, cari tau apa yang antum rasa masih kurang. Misalnya, jika ingin takhassus untuk tafsir, dan antum merasa kurang di nahwu dan balaghoh, coba itu yang antum kejar. Terutama yang berkaitan dengan takhassus antum, bidang yang antum pilih.
Mungkin juga dengan gabung grup-grup diskusi sesuai jurusan yang ingin antum ambil. Dulu, di zaman saya banyak forum seperti itu, di organisasi maupun di fakultas
Kalau misalnya antum sudah takhassus, antum minimal harus ada satu ilmu atau kitab yang jadi pegangan antum.
Seperti yang ingin fokus tafsir, harus ada buku tafsir yang jadi pegangan antum. Sehingga semisal sedang membaca Al-Qur’an, lalu nggak paham, bisa merujuk ke kitab tafsir tadi.
Kalau saya sendiri pakai tafsirnya Syekh Ath-Thanthawy, Tafsir Al-Wasith. Praktis, sekarang juga ada aplikasinya.
(Karena) konsekuensinya, kelak kita akan menjadi rujukan di bidang yang kita pilih. Kita harus bertanggungjawab atas ilmu pilihan kita tadi.
Intinya, kalau antum mau mudah ngatur aktivitas, antum takhassus-nya dimana, dan apa yang antum masih kurang. Nah, antum kejar itu, lengkapi itu.