Sukses Adalah Kita
“Apa faktor yang menentukan kesuksesan seseorang, privilese atau kerja keras?” Pertanyaan ini sempat banyak didiskusikan oleh orang-orang. Kalau ditanya demikian, kira-kira apa yang akan kamu jawab? Alasannya apa? Atau malah bingung dengan pertanyaannya, asing dengan istilahnya?
Privilese itu, singkatnya, adalah hak istimewa. Misal, Ahmad adalah anak dari pengusaha miliarder. Sebagai keturunan miliarder, Ahmad sedari lahir telah memiliki banyak kemudahan dalam hidupnya. Semua yang dia inginkan ada di hadapannya, tidak ada yang perlu dia pusingkan. Lain halnya dengan Mahmud. Terlahir dari keluarga yang tergolong kurang mampu, dia sejak kecil sudah harus bersusah-payah membantu ayah-ibunya berjualan di pasar. Mahmud tidak memiliki privilese sebagaimana Ahmad.
Logikanya, Ahmad tentu memiliki peluang untuk sukses lebih besar daripada Mahmud. Orang tuanya telah memuluskan jalan baginya untuk meneruskan tongkat estafet perusahaan. Sebaliknya, bagi Mahmud untuk mencapai posisi sebagaimana Ahmad tentu akan membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Dia perlu kerja keras. Hanya dengan kerja keraslah dia dapat mencapai kesuksesan.
Privilese juga bisa diandaikan sebagai mobil balap, sedangkan kerja keras sebagai kemampuan membalap. Seberapa banyak pun koleksi mobil balap yang dimiliki oleh Farhan, misalnya, dia tidak akan pernah menjadi pembalap sukses tanpa kemampuan balapan yang mumpuni. Sedangkan Daffa, meski dia tak memiliki mobil sebagus milik Farhan, kemampuan balapannya yang baik memungkinkannya mengalahkan Farhan di track.
Namun, bagi Daffa yang tak memiliki privilese sebagaimana Farhan, tentu saja dia harus melakukan usaha ekstra untuk menang. Dia harus mempelajari dengan baik track yang akan ia lewati, kapan ia harus masuk ke pit stop, juga faktor eksternal lain seperti cuaca. Tentu faktor keberuntungan pun punya andil yang sangat besar.
“Hard work beats talent when talent doesn’t work hard.” –Tim Notke
Lalu, siapakah yang akan sukses, orang dengan privilese atau orang yang bekerja keras?
Tentu saja kita harus terlebih dahulu mendefinisikan “sukses”. Menurut KBBI, sukses adalah berhasil. Oke, lalu kapan seseorang disebut sukses? Sukses itu, hemat penulis, tidak dilihat di awal atau pertengahan, tetapi ia ditentukan di akhir. Dalam konteks apa pun. Ahmad yang sejak kecil memiliki privilese tidak akan disebut sukses jika di akhir hidupnya justru gagal. Mahmud, di sisi lain, akan disebut sukses jika kerja kerasnya mengantarkan dirinya ke kesuksesan.
Liverpool tidak akan disebut juara English Premier League di awal atau pertengahan musim. Ia–dan klub bola apa pun–baru akan sah dinobatkan sebagai juara jika konsisten mendapat poin tertinggi hingga akhir musim. Seorang pembalap juga tidak dikatakan juara setelah berhasil melewati putaran pertama, melainkan setelah berhasil menjadi yang terdepan di putaran terakhir. Anak Lionel Messi pun tidak akan menjadi sehebat ayahnya jika tidak terus bekerja keras. Tidak ada yang bisa sukses sejak awal sampai akhir tanpa kerja keras, kecuali anak Raffi Ahmad.
Kegagalan adalah hal yang biasa dalam hidup, ia bukan akhir dari sebuah kehidupan. Jadikan ia pelajaran untuk mengintrospeksi diri. Bersedihlah sewajarnya saja. Pelajari kesalahan-kesalahan yang dulu pernah kamu lakukan lalu bangkitlah dari tidur panjangmu.
Jika sedang unggul dan berada di atas, jangan lantas berpuas diri. Bisa jadi ketika lengah ada yang menggulingkanmu dari posisi itu.
Intinya, ketika kita merasa memiliki privilese, jangan lengah dan berpuas diri. Teruslah bekerja keras dengan konsisten agar privilese itu dapat kita teruskan ke generasi selanjutnya. Kalau kita merasa tidak memiliki privilese, jangan lantas mengeluh! Kerja keraslah dengan konsisten, yakinlah bahwa setelah setiap kesulitan akan datang kemudahan.
Ada sebuah pepatah Arab masyhur mengatakan,
وما اللذة إلا بعد التعب
“Tidak ada kenikmatan kecuali setelah bersusah-payah.”